detak.co.id, TANGSEL – Pengamat Kebijakan Publik, Adib Miftahul, mengungkapkan dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan berubahnya ambang batas partai dalam pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia, menjadi angin segar untuk demokrasi.
Menurutnya, selama ini publik menyaksikan bahwa kekuasaan absolut untuk menentukan kandidat yang maju sebagai gubernur, bupati, atau walikota dalam Pilkada berada di tangan elit politik atau oligarki partai.
Adib menyoroti bagaimana realitas politik seringkali mengabaikan potensi, popularitas, dan elektabilitas seorang kandidat jika mereka tidak mendapatkan “tiket” dari para elit politik tersebut. Contoh nyata yang ia sampaikan adalah Anies Baswedan dan Airin Rachmi Diany, yang dinilai terhambat oleh kekuatan politik yang ada.
“Intinya adalah publik disajikan oleh itu, mau potensial mau popularitas mau elektabilitasnya bagus nggak ada urusan, mubazir nggak guna kalau tiketnya nggak dikasih oleh mereka kan gitu contohnya Anies contohnya Airin itu realitas politik yang terjadi,” terangnya kepada detakbanten.com Selasa (20/08/2024).
Namun, dengan adanya putusan MK ini, Adib melihatnya sebagai angin segar bagi demokrasi. MK telah menunjukkan keberpihakan pada hak demokrasi dengan membuka peluang bagi siapa saja yang memenuhi syarat tertentu, seperti perolehan suara minimal 10% di tingkat provinsi atau kota, untuk dapat maju dalam Pilkada. Ini menjadi kesempatan bagi partai-partai kecil untuk mendapatkan ruang dalam perpolitikan nasional.
Meskipun begitu, Adib juga mengakui bahwa dampak negatif bisa muncul, di mana banyak pihak berlomba-lomba untuk membentuk partai politik baru. Ini adalah respon terhadap monopoli partai-partai besar yang selama ini dianggap mendominasi kebijakan politik.
Lebih lanjut, Adib menyoroti tokoh-tokoh seperti Airin yang memiliki potensi besar untuk maju, namun sering kali terhalang oleh koalisi politik yang ada. Dengan putusan MK ini, ia meyakini bahwa peluang bagi figur-figur potensial seperti Airin terbuka lebar, asalkan mereka mampu mengambil langkah strategis dalam berpolitik.
“Harusnya Golkar mengkaji ulang lagi dengan putusan MK terkait pilkada, tidak harus gabung dengan KIM jika kandidat cagub yang punya elektebilitas tinggi seperti Airin, berani donk,” ujar Adib
Adib juga menyatakan bahwa putusan MK ini dapat menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni dan absolutisme politik yang selama ini dikuasai oleh elit politik. Menurutnya, jika tokoh-tokoh yang selama ini terhalang oleh kekuatan politik dapat maju, opini publik bisa berbalik menjadi simpati dan mendukung penuh kandidat tersebut.
“Ya pada akhirnya ini bisa menjadi perlawanan ketika hegemoni ketika absolutvisme dalam politik itu dikuasai oleh para elit politik tiketnya maksud saya tokoh-tokoh seperti Anies seperti Airin seperti di tempat-tempat lain yang terancam tidak bisa maju karena dalam tanda kutip bisa dikondisikan,” lanjutnya.
Adib menambahkan bahwa putusan MK ini juga membantah anggapan bahwa lembaga tersebut bisa diatur oleh istana. Putusan yang final dan mengikat ini justru menunjukkan bahwa MK tetap berada pada jalur yang independen, yang pada gilirannya menciptakan “tsunami politik” yang mengubah peta politik di Indonesia.
Terakhir, Adib melihat peluang bagi Airin untuk maju semakin terbuka lebar, terutama jika ia memutuskan untuk mengambil langkah strategis, seperti bergabung dengan PDIP tanpa harus keluar dari Golkar.
Langkah ini bisa menjadi bentuk “balas dendam politik” yang mungkin dilakukan Airin, mengingat pola koalisi besar selama ini seolah-olah tidak memberi ruang bagi lawan politik. Dengan demikian, peta politik yang sebelumnya sudah teratur kini perlu dikocok ulang setelah putusan MK ini.
Keputusan MK ini diharapkan membawa perubahan signifikan dalam dinamika politik nasional, memberikan peluang baru bagi kandidat potensial yang selama ini terkendala oleh kekuatan politik yang ada. Bagaimana perkembangan selanjutnya, publik tentu menanti langkah-langkah strategis dari para tokoh politik dalam menghadapi Pilkada mendatang.