Scroll untuk baca Berita

Pasang Iklan, Advertorial dan Kirim Release, click here
Nasional

Apa Dampaknya Jika Presiden Hanya Mengandalkan Media Arus Utama?

33
×

Apa Dampaknya Jika Presiden Hanya Mengandalkan Media Arus Utama?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Junaidi Rusli – Wartawan Independen

detak.co.id Opini – Dalam era digital dan keterbukaan informasi, komunikasi publik menjadi elemen vital dalam membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat.

Namun, bagaimana jika Presiden Prabowo hanya mengandalkan media arus utama sebagai saluran utama narasi kebijakan dan pencitraan kepemimpinannya?

Kondisi ini patut dicermati secara kritis. Terlalu mengandalkan media mainstream dapat membawa sejumlah dampak serius terhadap kualitas demokrasi dan hubungan antara rakyat dan pemerintah. Berikut ulasan dampaknya:

  1. Suara Rakyat Kecil Semakin Terpinggirkan
    Media arus utama sering kali menampilkan perspektif yang mewakili kepentingan elite dan institusi besar.

Narasi yang muncul cenderung berfokus pada pusat kekuasaan dan elite politik, sehingga suara kelompok akar rumput seperti petani, buruh, komunitas adat, dan masyarakat marginal semakin jarang terdengar.

Jika Presiden hanya menyerap informasi dari media jenis ini, maka risiko kehilangan koneksi terhadap realitas rakyat sangat besar.

  1. Demokrasi Tanpa Dialog: Komunikasi Satu Arah
    Demokrasi yang sehat bertumpu pada dialog dua arah antara pemerintah dan warga negara. Ketika komunikasi publik hanya berjalan melalui media arus utama yang lebih banyak menyampaikan pesan daripada membuka ruang kritik, maka demokrasi bergeser menjadi monolog kekuasaan.

Ini berbahaya karena mengurangi ruang transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik.

  1. Persepsi Publik Bisa Terkondisikan Secara Tidak Seimbang
    Media besar, meski profesional, tetap memiliki kepentingan ekonomi dan politik. Berita yang disajikan bisa terlalu positif atau mengaburkan kritik.

Jika masyarakat hanya disuguhi narasi tunggal dari media tertentu, maka terbentuklah persepsi publik yang tidak utuh.

Ketimpangan antara narasi dan kenyataan di lapangan bisa menimbulkan rasa kecewa hingga ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

  1. Potensi Solusi dari Warga Tak Tersalurkan
    Indonesia memiliki banyak komunitas inovatif, akademisi kritis, dan anak muda kreatif yang memiliki solusi nyata untuk berbagai persoalan bangsa.

Namun, jika kanal komunikasi pemerintah tertutup dan tidak merangkul media alternatif atau kanal digital warga, maka kontribusi publik dalam perumusan kebijakan akan sangat terbatas. Ini merupakan pemborosan potensi bangsa.

  1. Meningkatnya Polarisasi dan Disinformasi
    Ketika pemerintah hanya menyampaikan narasi melalui media tertentu, masyarakat yang tidak percaya pada media tersebut akan mencari informasi dari sumber lain yang belum tentu kredibel.

Akibatnya, hoaks, disinformasi, dan misinformasi mudah tersebar.

Polarisasi informasi pun makin tajam, dan pemerintah menghadapi tantangan dalam membangun kepercayaan yang merata di seluruh elemen masyarakat.

Mengandalkan media arus utama sebagai satu-satunya kanal komunikasi adalah strategi komunikasi yang berisiko.

Di era keterbukaan, partisipasi publik dan diversifikasi media adalah kunci untuk memperkuat demokrasi dan membangun pemerintahan yang inklusif dan adaptif.

Presiden Prabowo perlu mempertimbangkan berbagai saluran komunikasi, termasuk media alternatif, platform digital independen, dan dialog langsung dengan masyarakat, agar narasi pemerintah benar-benar mencerminkan suara rakyat Indonesia. (*)