detak.co.id TANGERANG – TANGGAL 23 Januari menjadi tanggal yang penuh sejarah dalam perjalanan Republik Indonesia (RI). Setelah 5 tahun diproklamirkan kemerdekaan, yaitu 23 Januari 1950, masih ada saja yang mencoba mengobok-obok kedaulatan republik ini.
Sebuah kelompok militer yang menamakan dirinya sebagai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), melakukan kudeta, dan mencoba untuk menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia Serikat atau RIS kala itu. APRA ingin memisahkan Jawa Barat dari Republik Indonesia dan membentuk negara sendiri.
Kelompok ini dipimpin oleh Kapten Raymond Pierre Westerling, seorang perwira militer Belanda yang pernah bertugas di Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).
pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta kala itu, tidak tinggal diam.
Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution berhasil mengalahkan pasukan APRA dalam pertempuran di Bandung. Sampai akhirnya kudeta ini berhasil digagalkan. Kapten Raymond Pierre Westerling melarikan diri ke luar negeri.
Sejarah mencatat, Kapten Raymond Pierre Westerling adalah tokoh penting terkait kiprahnya dalam kekerasan yang dilakukan pihak Belanda pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan anak kedua dari Paul Westerling (Belanda) dan Sophia Moutzou (Yunani). Westerling lahir pada 31 Agustus 1919 di Beyoglu, Istanbul, Turki (oleh karena itu dijuluki “si Turki”) dan meninggal karena gagal jantung pada 26 November 1987.
Nah, bicara kedaulatan negara yang diobok-obok, terbaru muncul satu fenomena yang menyeruak ke publik dan membuat geger seantero jagat maya dan dunia nyata. Lautan di pesisir utara Kabupaten Tangerang tengah ramai diperbincangkan dalam penguasaan sekelompok pengusaha melalui ratusan sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan puluhan sertifikat hak milik (SHM) atas nama perseorangan. Terbongkarnya laut bersertifikat HGB dan SHM ini berawal dari dipasangnya pagar cerucuk bambu sepanjang 30,16 kilometer di wilayah perairan tersebut, yang disinyalir sebagai patok-patok lokasi yang diantaranya sudah tersertifikasi HGB dan SHM. Terkait ini, pemerintah melalui stakeholder terkait tengah melakukan penyelidikan.
Kepekaan telinga presiden yang berlatar belakang seorang militer itu, merespon cepat suara-suara sumbang yang beredar luas di media mainstream maupun media sosial. Tak membutuhkan waktu lama, pagar-pagar itu digasak. Karena, selain dipasang secara ilegal, pagar cerucuk bambu itu telah menggangu kedaulatan nelayan dalam mencari nafkah.
Menyitir dari apa yang disampaikan oleh seorang nelayan Banten, Kang Kholid, ada upaya memasukkan lingkaran besar dalam cengkeraman lingkaran kecil itu sepertinya bukan sekadar kata-kata pemanis agar telihat pintar ketika ia diundang sebagai narsumber untuk bersuara. Tapi, ini adalah gambaran kecil bahwa peristiwa fenomena pagar cerucuk bambu di laut Tangerang ini adalah indikasi upaya untuk mengobok-obok kedaulatan negara dengan cara-cara kekinian tanpa harus mengangkat senjata. (*
PENULIS
Widi Hatmoko
Jurnalis/Seniman/Pemerhati Sosial