Scroll untuk baca Berita

Pasang Iklan, Advertorial dan Kirim Release, click here
Daerah

Mengapa Presiden Prabowo Hanya Bergantung kepada 7 Media Mainstream untuk Memberitakan Nasib Bangsa Indonesia?

32
×

Mengapa Presiden Prabowo Hanya Bergantung kepada 7 Media Mainstream untuk Memberitakan Nasib Bangsa Indonesia?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Junaidi Rusli (Wartawan Senior)

detak.co.id OPINI -Setelah resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto memasuki babak baru dalam kepemimpinannya. Dengan beban tanggung jawab yang besar dan harapan rakyat yang tinggi, seharusnya komunikasi politik seorang kepala negara menjadi semakin terbuka, inklusif, dan merangkul semua lapisan masyarakat. Namun, fakta di lapangan menunjukkan pola komunikasi yang cukup mengkhawatirkan: Presiden Prabowo tampaknya hanya mengandalkan sekitar tujuh media mainstream sebagai corong utama untuk menyampaikan informasi terkait nasib bangsa.

Pertanyaan kritis pun muncul: mengapa komunikasi kenegaraan yang menyangkut 270 juta rakyat Indonesia seolah hanya dipercayakan pada segelintir media besar?

Langkah ini tentu menimbulkan tanda tanya. Di tengah era keterbukaan informasi dan demokratisasi media, mengapa presiden justru memilih jalan sempit dalam menyampaikan program, visi kebangsaan, serta kondisi aktual negara? Apakah ini semata demi efektivitas pesan, atau ada kekhawatiran akan hilangnya kendali terhadap narasi publik?

Ketergantungan terhadap media arus utama memang menawarkan keunggulan: jangkauan luas, legitimasi kuat, dan pengendalian pesan yang lebih terstruktur. Namun, di sisi lain, ini juga mengandung risiko besar: eksklusivitas informasi, pembentukan opini yang bias, dan terputusnya komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyat.

Padahal, suara rakyat tidak lagi hanya hidup di layar televisi atau tajuk utama koran nasional. Rakyat kini aktif berdiskusi di media sosial, podcast, kanal YouTube independen, hingga forum komunitas lokal. Mereka tidak hanya ingin diberitahu, tetapi ingin dilibatkan.

Lebih dari itu, komunikasi yang hanya mengandalkan segelintir media justru berpotensi menciptakan jarak antara pemerintah dan rakyat. Ketika hanya satu kelompok media yang menjadi sumber resmi narasi negara, keberagaman perspektif hilang. Kritik sulit terdengar. Dialog menjadi satu arah.

Sebagai Presiden, Prabowo semestinya menyadari bahwa membangun bangsa bukan hanya soal kebijakan yang baik, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan itu dipahami, didiskusikan, dan diterima rakyat. Itu hanya mungkin jika komunikasi dilakukan secara terbuka dan merata, melalui semua kanal yang tersedia—bukan hanya tujuh media besar yang sudah mapan secara ekonomi dan politik.

Nasib bangsa ini bukan milik redaksi media elite, tapi milik seluruh rakyat. Dan suara rakyat tidak boleh dibatasi oleh pagar editorial.

Sudah saatnya Presiden Prabowo keluar dari ruang gema media mainstream dan hadir secara nyata di ruang-ruang publik digital dan akar rumput. Karena hanya dengan itulah, kepemimpinannya akan benar-benar terasa—bukan hanya dibaca.